Kerajaan-kerajaan Nusantara memiliki sistem politik yang khas dan beragam, sesuai dengan budaya dan kepercayaan masyarakat setempat. Beberapa kerajaan, seperti Majapahit, Sriwijaya, dan Mataram, mengembangkan tata pemerintahan yang kompleks untuk mengelola wilayah yang luas serta masyarakat yang beragam. Uniknya, meskipun beberapa kerajaan ini mengadopsi pengaruh dari India, Tiongkok, dan Arab, mereka tetap mempertahankan karakteristik lokal yang membuat sistem politik mereka berbeda dari yang ada di wilayah lain.
Sistem Politik Kerajaan Nusantara yang Unik
1. Monarki dengan Pengaruh Religius
Di banyak kerajaan Nusantara, raja bukan hanya dianggap sebagai penguasa, tetapi juga dipandang sebagai perwakilan dewa atau memiliki hubungan khusus dengan alam gaib. Konsep “dewaraja” atau “raja-dewa” ini tampak jelas dalam kerajaan-kerajaan seperti Majapahit dan Singhasari, di mana raja dianggap memiliki kekuatan spiritual. Keyakinan ini memberikan legitimasi religius kepada para penguasa dan menekankan pentingnya ketaatan terhadap raja.
Di Majapahit, misalnya, Hayam Wuruk dihormati sebagai pemimpin yang memiliki hubungan istimewa dengan para dewa. Begitu pula di kerajaan-kerajaan seperti Bali yang sangat kuat mempertahankan sistem kasta Hindu-Bali hingga kini. Hal ini menjadikan kekuasaan raja seolah memiliki dua sisi, yaitu sebagai pemimpin politik dan juga sebagai tokoh spiritual.
2. Sistem Pemerintahan Terpusat dan Desentralisasi
Sistem pemerintahan di beberapa kerajaan Nusantara bersifat terpusat, tetapi pada saat yang sama memiliki unsur desentralisasi yang kuat. Majapahit, misalnya, mengadopsi model pemerintahan pusat yang kuat, tetapi daerah-daerah yang jauh dari ibu kota dibiarkan memiliki otonomi. Daerah-daerah tersebut dipimpin oleh adipati atau pejabat lokal yang diberikan wewenang untuk mengatur wilayahnya sesuai dengan adat dan kebutuhan setempat.
Model pemerintahan semi-desentralisasi ini memberikan fleksibilitas bagi kerajaan untuk mengelola wilayah yang luas tanpa kehilangan kendali. Di sisi lain, para pemimpin lokal memiliki tanggung jawab untuk memastikan kesetiaan mereka terhadap kerajaan pusat, sambil menjaga perdamaian dan kesejahteraan di wilayahnya.
3. Peran Konsensus dan Musyawarah
Sistem politik Nusantara juga banyak mengedepankan prinsip musyawarah atau konsensus. Di kerajaan Aceh, Gowa-Tallo, dan Bugis-Makassar, keputusan penting sering kali diambil melalui pertemuan dewan yang melibatkan para pemimpin dan tokoh masyarakat. Misalnya, dalam Kerajaan Gowa-Tallo di Sulawesi Selatan, terdapat lembaga yang disebut “Bate Salapang” atau dewan adat yang terdiri dari para pemimpin suku dan bangsawan. Dewan ini berfungsi untuk memberi nasihat kepada raja dalam berbagai urusan, mulai dari politik hingga militer.
Di Aceh, Sultan Iskandar Muda juga melibatkan para ulama dan pejabat istana dalam menentukan kebijakan penting. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun raja memiliki kekuasaan yang besar, musyawarah tetap menjadi elemen penting dalam proses pengambilan keputusan.
4. Sistem Kasta dan Stratifikasi Sosial
Beberapa kerajaan di Nusantara, terutama yang dipengaruhi oleh agama Hindu dan Buddha seperti Majapahit dan Bali, mengadopsi sistem kasta yang membagi masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial. Di Majapahit, sistem kasta ini tidak sepenuhnya kaku seperti di India, tetapi tetap mempengaruhi kehidupan sehari-hari dan struktur politik. Para bangsawan dan kaum ksatria memiliki peran khusus dalam pemerintahan, sementara kasta lainnya memiliki tanggung jawab yang berbeda.
Di Bali, sistem kasta Hindu-Bali hingga kini masih diterapkan dalam struktur sosial masyarakatnya. Sistem kasta ini tidak hanya mengatur peran sosial, tetapi juga memberikan legitimasi politik bagi para pemimpin. Kaum brahmana, atau kasta tertinggi, sering kali menjadi penasehat raja dalam urusan keagamaan dan spiritual.
5. Hubungan Internasional dan Diplomasi
Kerajaan-kerajaan Nusantara seperti Sriwijaya dan Majapahit juga memiliki jaringan diplomasi yang kuat. Sriwijaya, misalnya, dikenal sebagai pusat perdagangan dan agama Buddha yang menjalin hubungan dengan Tiongkok, India, hingga Timur Tengah. Sriwijaya mampu menguasai jalur perdagangan di Selat Malaka dan melakukan diplomasi yang cerdas untuk mempertahankan pengaruhnya di Asia Tenggara.
Majapahit juga mengembangkan sistem politik yang kuat untuk menjaga hubungan dengan kerajaan-kerajaan lain di luar Jawa. Dengan konsep “Nusantara” yang dipopulerkan oleh Gajah Mada, Majapahit membangun aliansi dengan wilayah-wilayah di sekitarnya melalui pernikahan politik, diplomasi, dan kekuatan militer. Hal ini memperkuat pengaruh Majapahit dan menjadikannya kerajaan yang disegani di kawasan Asia Tenggara.
6. Sistem Hukum yang Berbasis Adat
Hukum di kerajaan Nusantara biasanya berbasis pada adat istiadat yang sudah berlaku lama di masyarakat. Di Kesultanan Aceh, hukum syariah diterapkan di bawah pengawasan para ulama, tetapi juga diadaptasi dengan adat lokal. Begitu pula di Kerajaan Bugis dan Makassar, hukum adat atau “ade’ ” sangat dihormati dan dipegang teguh oleh masyarakat.
Dalam Majapahit, terdapat kitab hukum “Kutara Manawa” yang mengatur berbagai aspek kehidupan, mulai dari pernikahan hingga hukuman bagi pelanggar hukum. Adat-istiadat dan hukum lokal ini menciptakan sistem keadilan yang unik, yang menghargai kearifan lokal sambil memberikan struktur hukum yang kuat bagi masyarakat.
Kesimpulan
Sistem politik di kerajaan-kerajaan Nusantara sangatlah beragam dan dipengaruhi oleh tradisi lokal serta pengaruh luar. Monarki dengan sentuhan religius, sistem desentralisasi, dan pentingnya musyawarah menunjukkan bagaimana kerajaan-kerajaan ini mampu membangun struktur politik yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Uniknya, berbagai sistem politik ini tetap mampu bertahan dalam perubahan zaman, memperlihatkan keunggulan dan fleksibilitas kebudayaan politik Nusantara yang diwariskan hingga kini.